Selasa, 14 April 2020

Sejarah dan Perjuangan dari Sultan Hasanuddin

Sejarah dan Perjuangan dari Sultan Hasanuddin
Dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia, rakyat Sulawesi turut mengisi lembaran perjuangan tersebut. Dan melahirkan tokoh legendaris yaitu Sultan Hasanuddin, yang mana beliau adalah seorang Raja Goa yang telah berjuang mempertahankan kedaulatan bangsanya dari serangan musuh. Ia seorang raja yang diakui pula baik oleh kawan maupun oleh lawan. Dia adalah seorang pahlawan yang gagah berani, serat berjiwa besar dan bersikap kasatria. Sebagai pemimpin islam, ia juga selalu bergerak memajukan ajaran agamanya.

Rakyat Indonesia yang anti penjajahan, berusaha dan berjuang mengusir penjajah. Demikian juga yang terjadi di kalangan rakyat Sulawesi. Dengan gigih dan di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin, mereka berjuangn mempertaruhkan nyawa demi kedaulatan tanah air yang mereka cintai.

Meskipun pada akhirnya kemenangan berada di pihak kaum penjajah, namun ada yang patut di catat disini, bahwa semangat perjuangan rakyat Sulawesi, khususnya Sultan Hasanuddin patut di teladani dan dimiliki oleh generasi penerus bangsa Indonesia. Oleh sebab itu saya menganggap artikel tentang sejarah beliau ini pantas untuk di baca oleh anak-anak dan remaja Indonesia, khususnya siswa SD ( sekolah dasar ) diseluruh indonesia. Mari kita baca bareng-bareng sejarah dan perjuangan beliau di bawah ini.

Luka Lama Sultan Hasanuddin
Pada waktu itu situasi di istana Kerajaan Goa sedang panas. Karena Sultan Muhammad Said menghadapkan kepala pemberontakan Karaeng Karungrung dan seorang anak laki-lakinya yang masih muda ke hadapan pengadilan Istana. Mereka harus mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukanya beberapa waktu yang lalu.

Selain Sultan, hadir pula pembesar-pembesar kerajaan lainya. Dengan wajah gusar Sultan Muhammad Said berkata,’’ Aku mengira seujung rambut pun, karungrung. Bahwa kau dengan anakmu memimpin pemberontakan itu. Kau adalah perdana menteriku, sedangkan anakmu ku tempatkan di panglima perang pula. Tapi rupanya kau telah menyalah gunakan kedudukan yang kuberikan itu. Berbalik memimpin pemberontakan dan sekaligus akan merebut kekuasaanku. Bukankah demikian maksudmu memberontak ?”

Karaeng Karungrung mendengar ucapan Sultan itu tidak merasa takut. Sejak tadi matanya tajam memperhatikan wajah Sultan. Hanya anaknya yang tampak sebentar-bentar merunduk. Tak lama kemudian Karungrung yang masih tetap bergejolak nafsu kebencian terhadap Sultan itu, segera menyambut,’’ hatiku takkan tenang, selama kau berkuasa di Goa. Persetan dengan dengan segala pemerintahan dan tindakanmu selama ini. Aku terpaksa menerima pengangkatan itu. Padahal diantara engkau dan aku tidak ada bedanya. Malah engkaulah yang tidak berhak menduduki Goa.

Sultan tidak segera menyambut, karena salah seorang yang bertugas menjadi hakim, seakan – akan membela Sultan dengan berkata : “Rakyat dan kalangan Istana telah sepakat untuk mengangkat Baginda Muhammad Said menjadi Sultan. Sedangkan kalian tak mendapat dukungan.’’

‘’Karena semua itu di dasari perbuatan licik, dengan menghasut rakyat agar memilih Said menjadi Sultan,” tukas Karungrung membela diri. “kurasa, itu semua fitnah belaka, Karungrung ,’’ sahut sultan lagi. “ Bagiku pantang disuap dan menyuap. Tuduha itu tak beralasan. Karena engkau sangat berambisi ingin menjadi raja. Sedangkan rakyat telah mengetahui tabiatmu. Buktinya, kau sekarang menyeleweng. Beberapa orang yang tertangkap, menyatakan bahwa engkau yang menghendaki dan engkau pula yang membiayainya. Kau ajak anakmu mengumpulkan tentara untuk memberontak dengan harapan dapat mengambil alih kekuasaan dari tanganku. Bukankah demikian ?”

Karaeng Karungrug tetap bersikeras. “itu semua karena melihat tindakanmu tidak sepaham dengan aku lagi, lagi pula kau sendiri bukan keturunan raja. Aku adalah anak dan keturunan raja di daerah taklukanmu dulu. Akulah yang berhak menjadi pimpinan di Goa. Tentu saja aku lebih berhak menjadi meminta kembali hakku yang engkau rampas,’’ katanya dengan berani. ‘’ Sedangkan pengangkatanmu, tidak berdasarkan musyawarah raja-raja kecil itu. Tidak diangkat oleh aku, oleh kami.’’

Oleh karena pembicaraan masih itu-itu juga, maka ada salah seorang petugas keadilan beralih bertanya kepada anak Karaeng Karungrug. ‘’ Kalaesompaka, berapa ratus anak buahmu yang kau kerahkan dalam pemberontakan?’’ Jumlahnya tidak ingat lagi. Tapi kira-kira sebanyak 50 perahu,’’ jawabnya.
‘’ Setiap perahu tentu kau tau terdiri dari beberapa orang ?’’ tanya petugas keadilan lagi. “ rata-rata 20 orang,’’ sahutnya lagi melemah.
“ Niatmu sendiri apa atas anjuran Karaeng Karungrug ?’’
“ Atas niat sendiri. Karena melihat kedudukan ayahku hanya sampai perdana menteri,’’ sahutnya.
“ Jadi kau juga berharap ayahmu menjadi Sultan ?’’ Tanya petugas itu.
Tetapi Kalesempoka tidak segera menyahut. Dia terlihat merunduk. Tak lama kemudian mendengar suara Sultan bertanya. “Karaeng Karungrug, Kalaesompaka, menyesalah sekarang dengan tertangkapnya kalian berdua? Sudah kau sadarikah apa hukumanya bagi seorang yang membangkang kepada raja ?’’ Anaknya tidak menyahut, tapi Karaeng Karungrug segera menjawab. “Penyesalan di akhir tidak ada gunanya. Hukuman itu pasti menimpa diriku, diri kami,’’ katanya.

Kemudian Sultan Muhammad Said berkata lagi,” Rupanya kalian tak dapat kami luruskan. Terpaksa aku menjatuhkan hukuman mati buat kalian berdua,” katanya kemudian. “itu sudha kuperhitungkan, karena aku tahu engkau seorang Sultan yang bengis,” kata Karaeng Karungrug. “ Bagiku lebih baik begitu daripada hidup di bawha telapak kakimu, Said ,” Katanya dengan nada kebencian. Sementara itu, Kalaesompaka tidak berkata-kata.

Kemduian kedua pesakitan itu keluar dari ruang sidang. Sultan berkata-kata denga para petugas kehakiman. Karaeng Karungrug dan anaknya masing-masing di ikat tanganya, kemudian Karaeng Karungrug sendiri di giring ke suatu tempat. Sampailah ia ke tempat yang biasanya untuk menumbuk padi. Karaeng Karungrug di baringkan di lesung. Pelaksanaan hukuman selanjutnya di serahkan kepada rakyat.

Tubuh Karaeng Karungrug yang berbaring di lesung itu, mulailah di tumbuk-tumbuk dengan alu, seperti halnya menumbuk padi. Dimulai dari kakinya, kemudian tanganya. Dapat di bayangkan bagaimana penderitaan yang menimpa Karaeng Karungrug dan anaknya yang diperlakukan kejam seperti itu. Akhirnya dengan serentak alu-alu itu menimpa pada kepala Karaeng Karungrug. Pecahlah kepalanya dan berakhirlah nyawa Karaeng Karungrug.

Tibalah anaknya Karaeng Karungrug yaitu kalaesompaka tubuhnya diikat di gantung pada sebuah pohon. Mulutnya di sumbat, kaki dan tanganya diikat. Hukuman pedih pasti menimpa dirinya, pelaksanaan dilakukan oleh rakyat. Tubu kalaesompaka di iris dan dihujam dengan senjata tajam. Ia tidak dapat meraung walaupun kesakitan. Berkali-kali di iris dan di hujam dengan senjata tajam, tubuhnya seakan-akan di cincang, dan tak lama kemudian ia pun tewas dalam kondisi yang sangat mengerikan.

Diam-diam ada anak kecil memperhatikan hukuman kedua orang tadi, “ Alangkah kejamnya sultan Said,’’ katanya dalah hati. “ Aku tak akan membiarkan kematian kakek dan ayahku. Aku harus membalas dendam.” Katanya lagi meratap dengan berkata Oh kakekku, oh ayahku. Kemudian dia sendiri tidak bisa menahan sedih dan dendam. Akhirnya ia pun tak sadarkan diri. Siapakah pemuda yang menyaksikan sendiri pelaksanaan hukuman mati secara kejam itu ? Itulah para aru palaka. Anak kalaesompaka dan cucu Karaeng Ka